Minggu, 29 Desember 2013

Tulang Punggung Bagi Organisasi




Kaderi sasi Merupakan tulang punggung bagi setiap organisasi pergerakan manapu karena pada hakekatnya kaderisasi merupakan pintu gerbang setiap organisasi dalam meneruskan perjuangan-perjuangan ideologi agar tetap lestari didalam setiap period peradaban. Bersamaan dengan itu kita dihadapkan dengan semakin melesatnya keadaa jaman yang semakin berkembang secara dahsyat diberbagai lini kehidupan. Untuk itula revitalisasi terhadap sistem dan proses kaderisasi di GMNI menjadi penting dan menja perhatian kita bersama untuk dilakuakan perbaruan sehingga menciptakan kader yang mampu adaptif terhadap perkembangan tersebut.
Penyempumaan sistem baku kaderisasi ini dimaksudkan agar bentuk pelaksaan terhadap pembobotan kader menjadi lebih relevan dalai menjawab tantangan zaman namun tetap berpegang pada dasar-dasar ideologi. Dalam prose menuju pada perumusan suatu sistem sebagaimana yang disebutkan di atas, studi perbandingan terhadap berbagai sistem kaderisasi menjadi kebutuhan penting bagi GMNI agar nantinya dapat melakukan penelaahan dan penyesuaian-penyesuaian yang terara dengan khittah dan fitrah GMNI sebagai organisasi perjuangan sekaligus terminal kader.
 Dalarn rangka pemenuhan kebutuhan tersebut, GMNI akan melaksanakan Dikilat Kaderisasi ditingkat regional yang bertujuan untuk menata ulang sistem kaderisasi agar lebi relevan, dan diharapkan dengan terselenggaranya kegiatan ini GMNI kota Surabaya sebagi organisasi kader mampu menerapkan merumuskan sistem kaderisasi yang lehih relevan untuk melahirka kader-kader bangsa yang Progresif-Revol usioner dalam mengaktual isasikan cita-cita perjuangan mewujudkan sosialisme Indonesia yang berdasarkan marhaenisme.
Upaya mewujudkan kebutuhan organisasi tersebut adalah dengan mencoba menerapkan memformulasi silabus kaderisasi dengan harapan bahwa silabus kaderisasi ini akan menjadi tolok ukur da acuan dalam proses pengkaderan secara teoritis disemua cabang GMNI seluruli Indonesia. Namun kami sadari bahwa silabus yang diformulasikan oleh Presidium bukanlah rumusan yang absolut dan sempurna, tentunya masih banyak kekurangan yang perlu ditamhahkan dan menjadi masukan guna menyempurnakan sehingga dapat menjadi mencetak kader yang representatil dan dapat menjawab tantangan GMNI saat ini dan masa depan.
Pada prinsipnya dalam agenda kaderisasi yang nantinya dilaksanakan, kami selaku Dewan Pimpinan Cabang berusaha untuk mensinergiskan antara perangkat kaderisasi baik landasan materi, narasumber atau guru kader dan waktu yang cukup dan efektif dalam melaksanakan proses pengakderan, disamping metodologi dalam penyampaian materi, pada saat kaderisasi juga menjadi hal yang perlu diperhatikan baik itu formal maupun non formal.
Keberhasilan dalam setiap kaderisasi harus dapat terukur sehingga terdapat perbedaan mendasar antara kader yang sudah melaksanakan kaderisasi pada jenjang yang berbeda, karena tantangan dalam kaderisasi adalah bagaimana menciptakan output kader-kader GMNI yang terarah dan memiliki keberpihakan yang sama sebagai upaya aksiologi terhadap ideologi.
Selain pembobotan terhadap tataran material kaderisasi secara teoritis dalam setiap proses kaderisasi yang menjadi penting pula adalah bangunan kontrol terhadap jalannya kaderisasi. Kesadaran awal terhadap pentingnya sistem kaderisasi dengan bobot materi yang sesuai dengan fitrah ideologi dan perkembangan kekinan harus selalu beijalan lurus baik dengan proses yang sesuai maupun pasca proses kaderisasi dilakukan. Hal ini harus dilakukan sebagai fungsi kontrol terhadap peningkatan kapasitas kader-kader GMNI setiap periode bukan hanya pada tataran kuantitas namun juga pada tataran kualitas kader, sehingga kader GMNI nantinya akan melahirkan sekelompok masyarakat yang berpernahanlafl ideologi kuat namun juga mampu adaptif terhadap perkembangan jaman.
Berangkat dari gagasan diatas kami sebagai generasi muda yang tergabung dalam sebuah wadah organisasi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kota Surabaya, telah melakukan penyadaran, pemahaman, dan penyikapan solutif yang mampu menjawab atas tantangan zaman. 
Penulis : Prabu Ali Airlangga Ketua GmnI Surabaya


Sabtu, 28 Desember 2013

AIR MATA KALIMAS



Anjing-anjing lapar itu menggonggong kekenyangan
walau yang dimakan kelak mengandung penyakit rabies.
Karena takut anjing itu makan daging yang segar
tuan-tuannya yang serakah sering mengikatnya direl kereta.
Oh anjing berbulu coklat,warnamu akan memudar
seiring nafasmu yang bau kentut karena daging yang kau makan
sudah terkontaminasi dipeti kemas dipelabuhan.

Aku kasihan melihat nasibmu anjing
sekalli-kali berkacala lah dikalimas yang airnya sebening kaca
kupastikan airmatamu pasti mengalir disana (Hasanudin)


Sengketa agraria pada umumnya merupakan konflik laten.  Pihak-pihak yang bersengketa, sebagian besar dilatarbelakangi kepentingan ekonomi dan politik. Sudah saatnya konflik berkepanjangan warga Kalimas Baru dengan PT KAI dan PT Pelindo III diakhir, publikpun kini semakin yakin, terjadinya konflik yang berlarut-larut mempertegas bahwa, pihak-pihak yang terlibat didalamnya sengketa ini justru kerap bersekongkol dengan para pemilik modal. Takkala kerusuhan meledak pada tragedy 17 Desember 2013, lagi-lagi rakyatlah yang kerap menanggung akibat yang paling berat. Bahkan tidak menutup kemungkinan kondisi ini akan menjalar ke wilayah-wilayah yang lain.
Disaat warga sedang berupaya untuk memertahankan hak-haknya, tiba-tiba ribuan aparat kepolisian bersenjata lengkap bersama para preman-preman, diperintahkan agar mengamankan jalanya eksekusi, rumah warga.  yang diperintahkan oleh PT KAI, dimana mereka semua menjadi budak-budak para investor dengan target memuluskan nafsunya untuk merampas tanah warga kalimas baru.
Sesungguhnya “setiap manusia di depan hukum berhak untuk mendapatkan perlindungan dari hukum yang sama tanpa diskriminasi”. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi, akan tetapi kondidinya justru terbalik, rakyat  tidaklagi mendapatkan perlindungan hukum . lantas bagimana dengan bunyi pada pasal-pasal HAM ayat 7 menegaskan penjelasan seperti itu.
    Kami sebagai warga Negara bertanya apakah Tap MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria yang isinya menegaskan bahwa “menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia”  sudah tidak berlaku?
    Lalu dimana lagi rakya harus mengadu dan meminta perlindungan, atas hak-hak mereka sebagai warga Negara? Kami menyesalkan sikap pemerintah, baik itu (DPRD, PEMKOT, PT.KAI, PT Pelindo III, serta pihak Aparat Penegak hukum) yang jelas-jelas mengabaikan salah satu prinsip yang wajib ditegakkan oleh dalam penanganan sengketa agrarian, dan penegakan kasus HAM.
Dengan merujuk pada Tap MPR ini saja, cara-cara yang ditempuh oleh (aparat) Negara, tentu saja menjadi tindakan yang tragis-ironis bahkan lebi pantas SADIS. Sekali lagi, ini adalah bukti, betapa bobroknya implementasi hukum kita, dan betapa masyarakat yang semestinya dilindungi selalu berada dalam posisi tidak berdaya, selalu dipersalahkan, bahkan mereka selalu menjadi pihak yang di korbankan.  
Kami atas nama warga masyarakat hanya meminta hak kami dipenuhi, kepastian hukum tentang tanah yang telah ditempati hingga lebih dari 50 tahun, segera ditetapkan kepemilikanya untuk dimiliki warga. sebab Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) sebenarnya termaksud satu ketentuan akan adanya jaminan bagi setiap warga negara untuk memiliki tanah serta mendapat manfaat dari hasilnya baca (pasal 9 ayat 2).
Jika mengacu pada ketentuan itu dan juga merujuk pada PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah (terutama pasal 2) Badan Pertanahan Nasional (BPN) semestinya dapat menerbitkan dokumen legal (sertifikat) yang dibutuhkan oleh setiap warga negara dengan mekanisme yang mudah.

Perlu diingat secara teori hukum berserta prakteknya, apabila kepastian hukum dikaitkan dengan keadilan hukum, maka akan  kerap kali tidak sejalan satu sama lain. Adapun hal ini dikarenakan di satu sisi tidak jarang kepastian hukum mengabaikan prinsip-prinsip keadilan hukum, sebaiknya tidak jarang  keadilan hukum mengabaikan prinsip-prinsip kepastian hukum. Jika dalam prakteknya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan hukum, maka keadilan hukum yang harus diutamakan. Alasanya adalah, bahwa keadilan hukum pada umumnya lahir dari hati nurani pemberi keadilan, sedangkan kepastian hukum lahir dari suatu yang kongkrit.
Untuk itu kami mengajak semua elemen, baik dari warga masyarakat, pemerintahan, aktivis Mahasiswa. Pendamping, serta pihak yang bertanggung jawab tentang masalah ini, untuk bersama-sama menggali nilai-nilai keadilan yang diminta oleh warga Kalimas Baru, tanpa melupakan Fungsi primer dalam hukum, yakni melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang dapat merugikan dan menderitakan hidupnya dan orang lain, masyarakat maupun penguasa. Selain itu nilai keadilan menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Penulis : Ketua DPC GMNI Surabaya M. Ali Shodikin  SH.I  MH. 
tlp 085852456350 
e-mail; dpcgmnikotasurabaya@gmail.com 

Selasa, 16 April 2013

Gagasan memperingati hari Kartini tanggal 21 April.



Setiap memperingati hari Kartini tanggal 21 April selalu terlintas dalam benak kita tentang nasib kaum wanita zaman dahulu. Di tanah air kita mengenal pahlawan-pahlawan wanita yang dengan gigih berjuang untuk menegakkan kemerdekaan. Sebut saja Nyi Ageng Serang, Cut Nyak Dien dengan semangat jihad mereka berjuang mengusir kompeni yang menduduki bumi Nusantara. Walau harus mengorbankan nyawa mereka tetap tak gentar membela dan memperjuangkan kemerdekaan tanah air dan bangsa. Di samping kedua tokoh tersebut nama Dewi Sartika dan R.A. Kartini tercatat sebagai tokoh wanita yang memperjuangkan hak-hak kaum wanita dalam mengenyam pendidikan.
Hak-hak kaum wanita untuk memperluas pengetahuan dan menduduki bangku sekolah waktu itu tidak mereka dapatkan terutama bagi penduduk pribumi yang miskin. Cita-cita luhur yang dilakukan dengan perbuatan nyata dalam membebaskan kaum wanita dan memperjuangkan mereka memperoleh hak yang sama dengan kaum pria akhirnya membuahkan hasil tetapi juga disertai dengan pengorbanan yang tak sedikit. Mereka itu adalah para ibu yang juga merupakan pejuang.
Peran kaum wanita sekarang ini boleh dibilang sejajar dengan kaum pria. Tak lagi hanya berkutat pada dapur, sumur dan kasur. Untuk urusan-urusan tertentu seperti urusan sosial kemasyarakatan, kesehatan maupun kemanusiaan bahkan sampai dalam bidang politik dan kenegaraan pun kaum wanita sudah ada yang berkecimpung di dalamnya. Memang, jika kita saksikan kemampuan kaum wanita zaman sekarang sudah lebih berkembang di berbagai bidang.
Kaum wanita mempunyai kebebasan yang luas dalam menuntut ilmu, bebas menentukan langkah-langkahnya dalam mencapai cita-cita, bebas mengambil peran di masyarakat dan bebas berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai bidang. Karena mempunyai hak yang sama maka tak ada salahnya jika kaum wanita turut serta berpartisipasi dalam mengisi pembangunan. Sudah bukan saatnya jika kaum wanita hanya membicarakan masalah seputar hak-hak mereka saja di mata kaum pria. Semestinya kaum wanita lebih memfokuskan diri pada hal-hal atau perbuatan nyata, dengan aktivitas yang bermanfaat dan memberikan hasil yang patut diacungi jempol. Tidak hanya ngerumpi di sana sini dengan membicarakan hal-hal yang tiada bermanfaat.
Kaum wanita harus mampu mengambil perannya masing-masing dengan ilmu pengetahuan dan kemampuan yang dimilikinya. Gagasan Sarinah adalah gerakan perempuan yang tidak berorientasi pada hak kesamaan seperti laki-laki, tapi bersama-sama mewujudkan Indonesia yang adil dan sejahtera.
Pemikiran Soekarno pada buku Sarinah yang relevan dengan perempuan abad 21. Adalah soal keluarga patriarki yang tidak menindas perempuan, serta evolusi menuju gerakan sosialis untuk solusi masalah kapitalisme yang menyiksa perempuan sebagai ibu dan tenaga kerja," katanya.
Dearah sekarang, kami menyoroti peran dan posisi perempuan dalam agama yang sering ditafsirkan saling berhadapan. Musuh perempuan sesungguhnya adalah penafsiran agama yang bias gender dan tidak ramah perempuan, bukan agama itu sendiri. Letak masalahnya dalam realitas sosial, penafsiran agama tersebut sering diperlakukan sebagai sesuatu yang sakral, bahkan lebih sakral dari kitab suci.
Sejarah perempuan dari zaman purba sampai sekarang diceritakan dalam buku sarinah karangan Ir. Soekarno presiden pertama republik Indonesia. Dari masa kejayaan perempuan sampai kisah-kisah tragis yang dialami perempuan. Pada zaman dahulu perempuan sempat berjaya dalam kata lain perempuan menjadi tokoh sentral dalam memainkan kisah kehidupan yang dijalani manusia.
Perempuan adalah orang pertama yang membuat kerajinan atau menciptakan kegiatan produksi seperti menenun kain, membuat perkakas rumah tangga dsb. Orang pertama yang berkebun dan menciptakan kegiatan pertanian serta berternak, serta yang pertama-tama membuat konsep tempat tinggal yang menetap dengan tinggal di dalam rumah. Saking pentingnya peran perempuan maka lahirlah system sosial “matrenialisme”.
Namun karena sifat lelaki yang tidak mau kalah dari perempuan, serta hasil dari perburuan semakin sedikit, maka semua peran penting perempuan diambil alih oleh kaum adam. Setelah lelaki menguasai semua pekerjaan, seperti berternak dan pertanian maka lelaki memandang dirinya sebagai penguasa dan perempuan hanya dipandang sebagai “benda” atau “milik” yang fungsinya hanya sebagai benda atau alat yang digunakan untuk kepentingan kaum adam, atau hanya sebagai hiasan atau juga sebagai lambang kekuasaan dan kekayaan.
Begitu rendahnya harga perempuan menjadikan peran perempuan hanya sebagai budak bahkan dalam buku ini menyebutkan bahwa “perempuan adalah budak sebelum adanya perbudakan”. Pada Zaman Jahiliyah di Timur Tengah orang-orang malu mempunyai anak perempuan bahkan dengan tega membunuh bayi-bayi perempuan yang lahir. Mereka menganggap bayi-bayi perempuan tersebut tidak berguna  dan nyawanya sangat tidak berguna. Maka dari itu sebenarnya Islam datang untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan dalam kedudukannya di masyarakat, akan tetapi banyak juga yang tidak mengerti dan mengkaburkan ajaran atau nilai Islam tentang perempuan.
Pada akhirnya kita lihat dewasa ini jarang sekali perempuan yang mempunyai kedudukan atau yang menyumbangkan usaha atau intelektualitasnya untuk kemajuan serta kesejahteraan manusia. Perempuan hanya mengandalkan wajah, tubuh serta kecantikannya untuk mencapai posisi penting dalam masyarakat bukan dari hasil usaha kerja keras dan intelektualitas sebagai mahluk yang berperadaban. Peran perempuan hanya sebagai seorang istri atau seorang ibu yang hanya mengurus kehidupan rumah tangga keluarga, aktivitas perempuan hanya mematut-matut diri, menghias diri dan menunggu seorang lelaki yang datang untuk melamarnya. Seberapa pun tinggi pendidikan  dan pengetahuan perempuan kemudian semua itu berhenti dan mati setelah pernikahan dan masuk dalam kehidupan rumah tangga, sangat sedikit sekali perempuan yang berkembang dan maju dalam kehidupannya.
Begitu banyaknya eksploitasi terhadap perempuan mulai dari kekerasan, pelecahan seksual, perbudakan, bahkan sampai kasus perjual-belian manusia (Trafficking) menambah daftar ketidak-adilan terhadap perempuan. Padahal peran penting perempuan dalam kehidupan sehari-hari atau dalam bernegara sangatlah penting. Juga dalam kehidupan seorang lelaki juga sangat penting, berapa banyak lelaki atau Negara yang hancur karena hanya seorang perempuan, dan berapa banyak lelaki atau Negara yang Berjaya karena seorang perempuan.
Dalam kenyataanya kepandaian intelektualitas perempuan tidak berbeda dengan lelaki. Banyak sekali perempuan-perempuan yang pandai dan mempunyai otak yang cemerlang serta banyak sekali perempuan yang mempunyai kreatifitas-kreatifitas bahkan semua itu ada yang mengungguli dari lelaki.
Berangkat dari gagasan diatas kami sebagai generasi muda yang tergabung dalam sebuah wadah organisasi GERAKAN MAHASISWA NASIONAL INDONESIA (GMNI) Kota surabaya, bermaksud untuk melakukan penyadaran, pemahaman, dan penyikapan solutif yang mampu menjawab atas tantangan zaman. Sehingga kami bermaksud untuk menyelenggarakan kegiatan yang akan kami sampaikan sebagaimana berikut :

I.              NAMA DAN THEMA KEGIATAN

A.     Nama Kegiatan
Kegiatan ini bernama “Seminar Kebangsaan” yang mana kegiatan ini kami selenggarakan dan kami sesuaikan dengan situasi dan kondisi permasalahan yang ada dimasyarakat khususnya  Sarinah.

B.     Tema Kegiatan
Sedangkan kegiatan ini kami beri tema:
 Reposisi Gerakan Sarinah Dalam Perjuangan Membangun Bangsa. 

Rabu, 13 Februari 2013

Pemberontakan di atas kertas

Info agenda.
1. Sosialisasi Kongres GMNI
2. Diskusi rutin.

Tema : Pemberontakan di atas kertas
Waktu : Sabtu 16-02-2013
Pukul : 19.00
Tempat : kantor DPC GMNI SURABAYA
.........................................................Mohon disebarkan kepada semua kader


Materi
 
Kartini bisa dibilang sebagai sosok fenomenal pada zamannya. Sebagai priyayi trah Jawa berdarah biru, pandangan dan pemikirannya jauh melampaui batas dimensi feodalistik yang masih begitu kuat membelenggu sekat-sekat kehidupan perempuan bangsawan. Ia tak pernah berhenti melakukan sebuah “pemberontakan” pemikiran terhadap atmosfer aristokrat yang menelikungnya.
Kartini“Pemberontakan” pemikiran itu disampaikan melalui berbagai surat kepada sahabatnya, Abendanon, di negeri Belanda. Kartini mengkritisi kondisi sosial-budaya Jawa pada saat itu yang dinilai membuat ruang gerak kaum perempuan pribumi kian tak berdaya. Sebagian besar suratnya mengekspresikan keluhan dan gugatan, khususnya menyangkut budaya Jawa yang dianggap sebagai penghambat dan belenggu kemajuan perempuan. Kartini memimpikan kehidupan kaum perempuan Jawa yang memiliki kebebasan dalam belajar dan menuntut ilmu. Ia juga menulis tentang ide dan cita-citanya atas dasar Religieusiteit, Wijsheid, en Schoonheid (Ketuhanan, Kebijaksanaan, dan Keindahan), yang dikombinasikan dengan Humanitarianisme (perikemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-surat Kartini juga menyatakan harapan agar dirinya bisa seperti kaum muda Eropa, terbebas dari kungkungan penderitaan akibat belenggu adat dan tradisi yang membuat kaum perempuan Jawa tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, atau harus bersedia dimadu. Bahkan, Kartini secara kritis juga mengungkapkan kegelisahannya terhadap masalah agama ketika kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan, tetapi tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan bahwa dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti.
 “…Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu…”, keluhnya. Ia juga mempertanyakan tentang agama yang dijadikan sebagai media pembenaran kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah.
KartiniBegitulah sekelumit pandangan progresif Kartini di tengah situasi feodalistik yang membelenggu kebebasan kaum perempuan Jawa dalam mendapatkan kehidupan yang jauh lebih terhormat dan bermartabat. Di alam keabadiannya, mungkin Kartini sudah bisa tersenyum dan bernapas lega bahwa sebagian mimpi, harapan, pemikiran, dan cita-citanya, sudah bisa terwujud. Setidaknya, kini tak ada lagi belenggu yang membatasi ruang gerak kaum perempuan untuk mendapatkan hak-haknya di bidang pendidikan, ekonomi, dan politik.
Di bidang pendidikan, kesetaraan gender sudah menjadi “mainstraim” kebijakan yang akan terus berkembang secara dinamis seiring dengan gerak dan dinamika peradaban. Tak ada lagi pelabelan bahwa kaum perempuan hanya sekadar “kanca wingking”, “swarga nunut neraka katut”, “yen awan dadi theklek yen bengi dadi lemek”. Di bidang ekonomi, lapangan pekerjaan juga begitu terbuka dalam memberikan ruang gerak kepada kaum perempuan. Sektor dan ruang-ruang publik sudah banyak diakses kaum perempuan, bahkan tak jarang yang memegang posisi kunci dalam pengambilan keputusan. Yang mencengangkan, jelas dinamika politik yang sudah demikian akomodatif dalam menyerap geliat kaum perempuan yang ingin terjun dalam pertarungan politik, meski dalam aroma yang demikian kompetitif dan sarat konflik. Bahkan, di sebuah daerah, sepasang suami-istri bersaing untuk memperebutkan kursi I sebagai bupati di daerah yang bersangkutan.
Meski demikian, tidak lantas berarti semua pemikiran dan gagasan Kartini sudah bisa sepenuhnya terwujud, meski zaman sudah melintasi banyak fase yang menyejarah. Kegelisahan Kartini tentang soal agama, misalnya, masih banyak ditemukan kasus kekerasan berkedok agama, merasa paling benar, bahkan jika perlu mengkafirkan kelompok lain yang dianggap tidak sepaham. Demikian juga keresahan Kartini soal poligami. Tak sedikit kaum perempuan yang harus menjadi korban “keliaran” nafsu kaum lelaki, bahkan kekerasan dalam rumah tangga pun bagaikan fenomena gunung es.
Gelagat yang tak kalah menyedihkan juga munculnya pola penghormatan terhadap pemikiran Kartini yang lebih cenderung seremonial belaka. Akibat penafsiran yang keliru, Kartini selalu terstigmatisasi melalui simbol pakaian adat atau lomba memasak. Jelas, ini sebuah penafsiran yang naif. Hal itu tampak pada setiap kali moment peringatan Hari Kartini yang selalu dimeriahkan dengan peragaan busana adat atau lomba memasak. Meski aksi semacam ini tidak dilarang, tetapi dikawatirkan akan memberikan dampak stigma terhadap sosok Kartini secara berkepanjangan. Muncul sebuah pencitraan keliru seolah-olah Kartini hendak membudayakan nilai dan semangat primordialisme sekaligus mengagungkan nilai konsumtivisme melalui tata boga. Padahal, sejatinya justru Kartini ingin keluar dari nilai-nilai primordialisme sempit yang bisa membelenggu ruang gerak kaum perempuan dalam mendapatkan kesetaraan kedudukan dan perannya di berbagai sektor kehidupan.
Semangat “pemberontakan” dan pemikiran Kartini idealnya memang tak cukup hanya dikenang secara simbolik dan seremonial setiap tanggal 21 April. Akan tetapi, lebih dari itu, nilai-nilai kepeloporan dan kejuangan Kartini yang telah menyejarah dari generasi ke generasi perlu terus diaplikasikan secara riil di berbagai ranah dan lini dalam kehidupan sehari-hari. Dengan cara demikian, kaum laki-laki dan perempuan bisa bersinergi dalam kesetaraan peran dan posisi, baik dalam ranah domestik maupun publik, sehingga akan terwujud tatanan peradaban yang mulia, terhormat, dan bermartabat.
Sumber http://sawali.info/2010/04/20/penafsiran-naif-terhadap-gagasan
DPC GmnI Kota Surabaya © 2008. Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute