Rabu, 13 Februari 2013

Pemberontakan di atas kertas

Info agenda.
1. Sosialisasi Kongres GMNI
2. Diskusi rutin.

Tema : Pemberontakan di atas kertas
Waktu : Sabtu 16-02-2013
Pukul : 19.00
Tempat : kantor DPC GMNI SURABAYA
.........................................................Mohon disebarkan kepada semua kader


Materi
 
Kartini bisa dibilang sebagai sosok fenomenal pada zamannya. Sebagai priyayi trah Jawa berdarah biru, pandangan dan pemikirannya jauh melampaui batas dimensi feodalistik yang masih begitu kuat membelenggu sekat-sekat kehidupan perempuan bangsawan. Ia tak pernah berhenti melakukan sebuah “pemberontakan” pemikiran terhadap atmosfer aristokrat yang menelikungnya.
Kartini“Pemberontakan” pemikiran itu disampaikan melalui berbagai surat kepada sahabatnya, Abendanon, di negeri Belanda. Kartini mengkritisi kondisi sosial-budaya Jawa pada saat itu yang dinilai membuat ruang gerak kaum perempuan pribumi kian tak berdaya. Sebagian besar suratnya mengekspresikan keluhan dan gugatan, khususnya menyangkut budaya Jawa yang dianggap sebagai penghambat dan belenggu kemajuan perempuan. Kartini memimpikan kehidupan kaum perempuan Jawa yang memiliki kebebasan dalam belajar dan menuntut ilmu. Ia juga menulis tentang ide dan cita-citanya atas dasar Religieusiteit, Wijsheid, en Schoonheid (Ketuhanan, Kebijaksanaan, dan Keindahan), yang dikombinasikan dengan Humanitarianisme (perikemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-surat Kartini juga menyatakan harapan agar dirinya bisa seperti kaum muda Eropa, terbebas dari kungkungan penderitaan akibat belenggu adat dan tradisi yang membuat kaum perempuan Jawa tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, atau harus bersedia dimadu. Bahkan, Kartini secara kritis juga mengungkapkan kegelisahannya terhadap masalah agama ketika kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan, tetapi tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan bahwa dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti.
 “…Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu…”, keluhnya. Ia juga mempertanyakan tentang agama yang dijadikan sebagai media pembenaran kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah.
KartiniBegitulah sekelumit pandangan progresif Kartini di tengah situasi feodalistik yang membelenggu kebebasan kaum perempuan Jawa dalam mendapatkan kehidupan yang jauh lebih terhormat dan bermartabat. Di alam keabadiannya, mungkin Kartini sudah bisa tersenyum dan bernapas lega bahwa sebagian mimpi, harapan, pemikiran, dan cita-citanya, sudah bisa terwujud. Setidaknya, kini tak ada lagi belenggu yang membatasi ruang gerak kaum perempuan untuk mendapatkan hak-haknya di bidang pendidikan, ekonomi, dan politik.
Di bidang pendidikan, kesetaraan gender sudah menjadi “mainstraim” kebijakan yang akan terus berkembang secara dinamis seiring dengan gerak dan dinamika peradaban. Tak ada lagi pelabelan bahwa kaum perempuan hanya sekadar “kanca wingking”, “swarga nunut neraka katut”, “yen awan dadi theklek yen bengi dadi lemek”. Di bidang ekonomi, lapangan pekerjaan juga begitu terbuka dalam memberikan ruang gerak kepada kaum perempuan. Sektor dan ruang-ruang publik sudah banyak diakses kaum perempuan, bahkan tak jarang yang memegang posisi kunci dalam pengambilan keputusan. Yang mencengangkan, jelas dinamika politik yang sudah demikian akomodatif dalam menyerap geliat kaum perempuan yang ingin terjun dalam pertarungan politik, meski dalam aroma yang demikian kompetitif dan sarat konflik. Bahkan, di sebuah daerah, sepasang suami-istri bersaing untuk memperebutkan kursi I sebagai bupati di daerah yang bersangkutan.
Meski demikian, tidak lantas berarti semua pemikiran dan gagasan Kartini sudah bisa sepenuhnya terwujud, meski zaman sudah melintasi banyak fase yang menyejarah. Kegelisahan Kartini tentang soal agama, misalnya, masih banyak ditemukan kasus kekerasan berkedok agama, merasa paling benar, bahkan jika perlu mengkafirkan kelompok lain yang dianggap tidak sepaham. Demikian juga keresahan Kartini soal poligami. Tak sedikit kaum perempuan yang harus menjadi korban “keliaran” nafsu kaum lelaki, bahkan kekerasan dalam rumah tangga pun bagaikan fenomena gunung es.
Gelagat yang tak kalah menyedihkan juga munculnya pola penghormatan terhadap pemikiran Kartini yang lebih cenderung seremonial belaka. Akibat penafsiran yang keliru, Kartini selalu terstigmatisasi melalui simbol pakaian adat atau lomba memasak. Jelas, ini sebuah penafsiran yang naif. Hal itu tampak pada setiap kali moment peringatan Hari Kartini yang selalu dimeriahkan dengan peragaan busana adat atau lomba memasak. Meski aksi semacam ini tidak dilarang, tetapi dikawatirkan akan memberikan dampak stigma terhadap sosok Kartini secara berkepanjangan. Muncul sebuah pencitraan keliru seolah-olah Kartini hendak membudayakan nilai dan semangat primordialisme sekaligus mengagungkan nilai konsumtivisme melalui tata boga. Padahal, sejatinya justru Kartini ingin keluar dari nilai-nilai primordialisme sempit yang bisa membelenggu ruang gerak kaum perempuan dalam mendapatkan kesetaraan kedudukan dan perannya di berbagai sektor kehidupan.
Semangat “pemberontakan” dan pemikiran Kartini idealnya memang tak cukup hanya dikenang secara simbolik dan seremonial setiap tanggal 21 April. Akan tetapi, lebih dari itu, nilai-nilai kepeloporan dan kejuangan Kartini yang telah menyejarah dari generasi ke generasi perlu terus diaplikasikan secara riil di berbagai ranah dan lini dalam kehidupan sehari-hari. Dengan cara demikian, kaum laki-laki dan perempuan bisa bersinergi dalam kesetaraan peran dan posisi, baik dalam ranah domestik maupun publik, sehingga akan terwujud tatanan peradaban yang mulia, terhormat, dan bermartabat.
Sumber http://sawali.info/2010/04/20/penafsiran-naif-terhadap-gagasan
DPC GmnI Kota Surabaya © 2008. Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute