1. Sosialisasi Kongres GMNI
2. Diskusi rutin.
Tema : Pemberontakan di atas kertas
Waktu : Sabtu 16-02-2013
Pukul : 19.00
Tempat : kantor DPC GMNI SURABAYA
..............................
Materi
Kartini
bisa dibilang sebagai sosok fenomenal pada zamannya. Sebagai priyayi trah Jawa
berdarah biru, pandangan dan pemikirannya jauh melampaui batas dimensi
feodalistik yang masih begitu kuat membelenggu sekat-sekat kehidupan perempuan
bangsawan. Ia tak pernah berhenti melakukan sebuah “pemberontakan” pemikiran
terhadap atmosfer aristokrat yang menelikungnya.
Kartini“Pemberontakan”
pemikiran itu disampaikan melalui berbagai surat kepada sahabatnya, Abendanon,
di negeri Belanda. Kartini mengkritisi kondisi sosial-budaya Jawa pada saat itu
yang dinilai membuat ruang gerak kaum perempuan pribumi kian tak berdaya. Sebagian
besar suratnya mengekspresikan keluhan dan gugatan, khususnya menyangkut budaya
Jawa yang dianggap sebagai penghambat dan belenggu kemajuan perempuan. Kartini
memimpikan kehidupan kaum perempuan Jawa yang memiliki kebebasan dalam belajar
dan menuntut ilmu. Ia juga menulis tentang ide dan cita-citanya atas dasar
Religieusiteit, Wijsheid, en Schoonheid (Ketuhanan, Kebijaksanaan, dan
Keindahan), yang dikombinasikan dengan Humanitarianisme (perikemanusiaan) dan
Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-surat
Kartini juga menyatakan harapan agar dirinya bisa seperti kaum muda Eropa,
terbebas dari kungkungan penderitaan akibat belenggu adat dan tradisi yang
membuat kaum perempuan Jawa tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus
dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, atau harus bersedia
dimadu. Bahkan, Kartini secara kritis juga mengungkapkan kegelisahannya
terhadap masalah agama ketika kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan,
tetapi tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan
bahwa dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan
manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti.
“…Agama harus menjaga kita daripada berbuat
dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu…”,
keluhnya. Ia juga mempertanyakan tentang agama yang dijadikan sebagai media
pembenaran kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah
penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah.
KartiniBegitulah
sekelumit pandangan progresif Kartini di tengah situasi feodalistik yang
membelenggu kebebasan kaum perempuan Jawa dalam mendapatkan kehidupan yang jauh
lebih terhormat dan bermartabat. Di alam keabadiannya, mungkin Kartini sudah
bisa tersenyum dan bernapas lega bahwa sebagian mimpi, harapan, pemikiran, dan
cita-citanya, sudah bisa terwujud. Setidaknya, kini tak ada lagi belenggu yang
membatasi ruang gerak kaum perempuan untuk mendapatkan hak-haknya di bidang
pendidikan, ekonomi, dan politik.
Di
bidang pendidikan, kesetaraan gender sudah menjadi “mainstraim” kebijakan yang
akan terus berkembang secara dinamis seiring dengan gerak dan dinamika
peradaban. Tak ada lagi pelabelan bahwa kaum perempuan hanya sekadar “kanca
wingking”, “swarga nunut neraka katut”, “yen awan dadi theklek yen bengi dadi
lemek”. Di bidang ekonomi, lapangan pekerjaan juga begitu terbuka dalam
memberikan ruang gerak kepada kaum perempuan. Sektor dan ruang-ruang publik
sudah banyak diakses kaum perempuan, bahkan tak jarang yang memegang posisi
kunci dalam pengambilan keputusan. Yang mencengangkan, jelas dinamika politik
yang sudah demikian akomodatif dalam menyerap geliat kaum perempuan yang ingin
terjun dalam pertarungan politik, meski dalam aroma yang demikian kompetitif
dan sarat konflik. Bahkan, di sebuah daerah, sepasang suami-istri bersaing
untuk memperebutkan kursi I sebagai bupati di daerah yang bersangkutan.
Meski
demikian, tidak lantas berarti semua pemikiran dan gagasan Kartini sudah bisa
sepenuhnya terwujud, meski zaman sudah melintasi banyak fase yang menyejarah.
Kegelisahan Kartini tentang soal agama, misalnya, masih banyak ditemukan kasus
kekerasan berkedok agama, merasa paling benar, bahkan jika perlu mengkafirkan
kelompok lain yang dianggap tidak sepaham. Demikian juga keresahan Kartini soal
poligami. Tak sedikit kaum perempuan yang harus menjadi korban “keliaran” nafsu
kaum lelaki, bahkan kekerasan dalam rumah tangga pun bagaikan fenomena gunung
es.
Gelagat
yang tak kalah menyedihkan juga munculnya pola penghormatan terhadap pemikiran
Kartini yang lebih cenderung seremonial belaka. Akibat penafsiran yang keliru,
Kartini selalu terstigmatisasi melalui simbol pakaian adat atau lomba memasak.
Jelas, ini sebuah penafsiran yang naif. Hal itu tampak pada setiap kali moment
peringatan Hari Kartini yang selalu dimeriahkan dengan peragaan busana adat
atau lomba memasak. Meski aksi semacam ini tidak dilarang, tetapi dikawatirkan
akan memberikan dampak stigma terhadap sosok Kartini secara berkepanjangan.
Muncul sebuah pencitraan keliru seolah-olah Kartini hendak membudayakan nilai
dan semangat primordialisme sekaligus mengagungkan nilai konsumtivisme melalui
tata boga. Padahal, sejatinya justru Kartini ingin keluar dari nilai-nilai
primordialisme sempit yang bisa membelenggu ruang gerak kaum perempuan dalam
mendapatkan kesetaraan kedudukan dan perannya di berbagai sektor kehidupan.
Semangat
“pemberontakan” dan pemikiran Kartini idealnya memang tak cukup hanya dikenang
secara simbolik dan seremonial setiap tanggal 21 April. Akan tetapi, lebih dari
itu, nilai-nilai kepeloporan dan kejuangan Kartini yang telah menyejarah dari
generasi ke generasi perlu terus diaplikasikan secara riil di berbagai ranah
dan lini dalam kehidupan sehari-hari. Dengan cara demikian, kaum laki-laki dan
perempuan bisa bersinergi dalam kesetaraan peran dan posisi, baik dalam ranah
domestik maupun publik, sehingga akan terwujud tatanan peradaban yang mulia,
terhormat, dan bermartabat.
Sumber
http://sawali.info/2010/04/20/penafsiran-naif-terhadap-gagasan
1 komentar:
haloooooooooooooooooooo
Posting Komentar